Politisasi Ormas - Agamisasi Partai

3:44 AM 0 Comments

Ilustrasi | waroengseni.blogspot.com


Masyarakat Indonesia terkenal memiliki semangat beragama sangat tinggi sehingga sangat logis kalau di Indonesia berkembang  berbagai partai dan ormas yang berlabelkan islam dengan membawakan agenda keagamaan.  Dalam Negara pancasila yang menjunjung tinggi demokrasi tidak ada salahnya untuk mendirikan partai atau ormas yang berlabelkan suatu agama, apalagi Indonesia memiliki jumlah muslim terbanyak di dunia. Namun argument logis ini ternyata tidak mulus ketika diimplementasikan dalam realita politik yang serba gaduh, sarat dengan kompetisi yang menyeret pada wilayah abu-abu, Batas wilayah yang tidak jelas antara Halal dan Haram, antara benar dan salah. Permainan politik sangat licin sehingga mudah tergelincir pada pertarungan kekuasaan dan kemenangan dengan mengalahkan prinsip etika dan nurani.

Partai Politik yang berlabelkan agama memiliki dosa berlipat ganda dimata masyarakat apabila melanggar syariat yang ia selalu dengung-dengungkan, realitanya  partai itu tidak ada yang bersih selama partai itu di motori oleh manusia, karena pada dasarnya manusia adalah tempat kesalahan dan lupa. Saat ini partai-partai Islam sedang mengalami degradasi kepercayaan, selain karena ulah para kadernya,  juga peran media yang selalu membesar-besarkannya. Memperjuangkan islam lewat politik memang memiliki hambatan, terjangan dan badai lebih besar dibandingkan partai-partai lainnya.

Krisis kepercayaan juga terjadi pada ormas-ormas Islam, yang selama ini para muballighnya selalu menyuarakan kebaikan, halal haram, benar dan salah. Maka kita tidak heran tatkala Kiyai/Tuan Guru yang terjun kedalam politik praktis tidak disakralkan lagi seperti Kiyai-Kiyai zaman dahulu, Kiyai/Tuan Guru  yang masuk kedalam politik praktis harus siap menerima badai yang mungkin akan membuat dirinya termarginalkan di masyarakat.
Organisasi masyarakat sipil keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Ulama dan yang lainnya, berperan penting dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia. Hal itu antara lain melalui gerakan organisasi, pendidikan madrasah atau pesantren, serta gagasan kaum intelektual Muslim yang mau menerima demokrasi sebagai mekanisme berpolitik.

Dalam spektrum yang lebih luas, semua ormas Islam memiliki platform yang sama yakni amar makruf nahi mungkar, menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Di tengah berbagai persoalan gejolak bangsa, baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun agama, ormas Islam mesti kembali meredefinisi tentang peran yang harus dimainkan. Tidak dipungkiri, perkembangan peran dan kiprah ormas Islam dewasa ini seolah telah mengalami pergeseran dari napas awal sejarah kelahirannya. Perhelatan politik di Indonesia mulai dari pemilihan pemimpin kepala daerah, wakil rakyat, sampai pemimpin negara “menyeret” ormas Islam untuk secara langsung terlibat di dalamnya. Konsekuensinya, ormas Islam tidak lagi memiliki kesetaraan sebagai satu kekuatan moral, tetapi lebih terkesan bagian dari mesin politik dari suatu kekuatan politik tertentu. Celoteh kecil, selapis tipis beda ormas dengan partai politik.

Kembali ke Khittah Masing-masing

Kita mengetahui bahwa politik itu adalah sebuah upaya dan kegiatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan dan misi tertentu. Politik bagi kaum Muslimin merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan karena politik sangat berkaitan dengan semua bidang dan dimensi kehidupan.

Tanpa politik, tidak mungkin kita bisa membangun sebuah kehidupan yang baik, yang adil dan sejahtera. Hukum tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa ada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ekonomi syariah pun tidak mungkin bisa dilaksanakan di negara kita tanpa ada kemauan politik dari semua stakeholders-nya.

Saatnya partai-partai Islam mereformasi diri dengan kembali kepada khittahnya sebagai wakil kaum muslimin di parlemen dan  pemerintahan, Partai harus mengingat bahwa kekuasaan dan materi bukanlah orientasi. Tapi partai merupakan jalan untuk menyuarakan nilai-nilai islam.

Selanjutnya ormas-ormas yang “gatal” akan kekuasaan marilah kembali ke khittah masing-masing sebagai pengontrol kinerja pemerintah, dan lebih fokus pada permasalahan ummat, supaya kiyai/ tuan guru bisa dijadikan panutan bagi masyarakat, karena kalaulah para kiyai/Tuan Guru rata-rata terjun kedalam dunia politik, akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat padanya mengalami degradasi, sehingga tidak ada lagi yang dijadikan panutan.

Saya tidak mempermasalahkan warga salah satu ormas ikut serta dalam politik praktis, namun hendaknya secara personal tanpa harus ‘memprovokasi’ jamaahnya untuk memilih partai tertentu atau tanpa melibatkan ormasnya, karena terlibat dalam politik praktis akan membuat organisasi terkoyak-koyak pada kepentingan partai. Saat ini saya melihat ormas-ormas islam sekelas Nasional (Muhammadiyah, NU) sudah mulai kembali pada khittahnya yang sebenarnya yaitu mengedepankan urusan ummat dan menjadi garda terdepan masyarakat untuk mengawal kinerja pemerintah.

Namun bagaiamana dengan ormas islam terbesar di NTB yakni Nahdlatul Wathan? Nampaknya sampai saat ini organisasi tersebut masih menggunakan powernya untuk menjadi Nomor satu di NTB. Ormas masih dijadikan sebagai kendaraan politik untuk memuluskan jalan menuju tampuk kekuasaan. Sehingga tidak heran organisasi ini selalu menjadi “rebutan” para elit partai. Semoga NW ku tercinta ini kembali ke khittahnya yang sebenarnya sebagai pengayom masyarakat, bergerak dibidang social, pendidikan dan penanaman moral bagi anak-anak bangsa untuk kejayaan Indonesia. Marilah berjalan sesuai dengan porsi masing-masing.

Mohon Maaf, Allohua`lam Bissowab

Masjid Kampus Univ. Merdeka Malang, 23/02/2013

0 comments:

Terima kasih atas komentar anda