Politisasi Ormas - Agamisasi Partai
Ilustrasi | waroengseni.blogspot.com |
Masyarakat Indonesia
terkenal memiliki semangat beragama sangat tinggi sehingga sangat logis kalau
di Indonesia berkembang berbagai partai
dan ormas yang berlabelkan islam dengan membawakan agenda keagamaan. Dalam Negara pancasila yang menjunjung tinggi
demokrasi tidak ada salahnya untuk mendirikan partai atau ormas yang
berlabelkan suatu agama, apalagi Indonesia memiliki jumlah muslim terbanyak di
dunia. Namun argument logis ini ternyata tidak mulus ketika diimplementasikan
dalam realita politik yang serba gaduh, sarat dengan kompetisi yang menyeret
pada wilayah abu-abu, Batas wilayah yang tidak jelas antara Halal dan Haram, antara
benar dan salah. Permainan politik sangat licin sehingga mudah tergelincir pada
pertarungan kekuasaan dan kemenangan dengan mengalahkan prinsip etika dan
nurani.
Partai Politik yang
berlabelkan agama memiliki dosa berlipat ganda dimata masyarakat apabila
melanggar syariat yang ia selalu dengung-dengungkan, realitanya partai itu tidak ada yang bersih selama partai
itu di motori oleh manusia, karena pada dasarnya manusia adalah tempat
kesalahan dan lupa. Saat ini partai-partai Islam sedang mengalami degradasi
kepercayaan, selain karena ulah para kadernya, juga peran media yang selalu
membesar-besarkannya. Memperjuangkan islam lewat politik memang memiliki
hambatan, terjangan dan badai lebih besar dibandingkan partai-partai lainnya.
Krisis kepercayaan juga
terjadi pada ormas-ormas Islam, yang selama ini para muballighnya selalu
menyuarakan kebaikan, halal haram, benar dan salah. Maka kita tidak heran tatkala
Kiyai/Tuan Guru yang terjun kedalam politik praktis tidak disakralkan lagi
seperti Kiyai-Kiyai zaman dahulu, Kiyai/Tuan Guru yang masuk kedalam politik praktis harus siap
menerima badai yang mungkin akan membuat dirinya termarginalkan di masyarakat.
Organisasi
masyarakat sipil keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul
Ulama dan yang lainnya, berperan penting dalam mengembangkan demokrasi di
Indonesia. Hal itu antara lain melalui gerakan organisasi, pendidikan madrasah
atau pesantren, serta gagasan kaum intelektual Muslim yang mau menerima
demokrasi sebagai mekanisme berpolitik.
Dalam
spektrum yang lebih luas, semua ormas Islam memiliki platform yang sama yakni
amar makruf nahi mungkar, menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Di tengah
berbagai persoalan gejolak bangsa, baik yang menyangkut sosial, politik,
ekonomi, budaya, maupun agama, ormas Islam mesti kembali meredefinisi tentang
peran yang harus dimainkan. Tidak dipungkiri, perkembangan peran dan kiprah
ormas Islam dewasa ini seolah telah mengalami pergeseran dari napas awal
sejarah kelahirannya. Perhelatan politik di Indonesia mulai dari pemilihan
pemimpin kepala daerah, wakil rakyat, sampai pemimpin negara “menyeret” ormas
Islam untuk secara langsung terlibat di dalamnya. Konsekuensinya, ormas Islam
tidak lagi memiliki kesetaraan sebagai satu kekuatan moral, tetapi lebih
terkesan bagian dari mesin politik dari suatu kekuatan politik tertentu.
Celoteh kecil, selapis tipis beda ormas dengan partai politik.
Kembali ke Khittah Masing-masing
Kita mengetahui bahwa politik itu adalah sebuah upaya dan
kegiatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan
dan misi tertentu. Politik bagi kaum Muslimin merupakan suatu kebutuhan dan
keniscayaan karena politik sangat berkaitan dengan semua bidang dan dimensi
kehidupan.
Tanpa politik, tidak mungkin kita bisa membangun sebuah kehidupan yang baik, yang adil dan sejahtera. Hukum tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa ada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ekonomi syariah pun tidak mungkin bisa dilaksanakan di negara kita tanpa ada kemauan politik dari semua stakeholders-nya.
Tanpa politik, tidak mungkin kita bisa membangun sebuah kehidupan yang baik, yang adil dan sejahtera. Hukum tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa ada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ekonomi syariah pun tidak mungkin bisa dilaksanakan di negara kita tanpa ada kemauan politik dari semua stakeholders-nya.
Saatnya
partai-partai Islam mereformasi diri dengan kembali kepada khittahnya sebagai
wakil kaum muslimin di parlemen dan pemerintahan, Partai harus mengingat bahwa
kekuasaan dan materi bukanlah orientasi. Tapi partai merupakan jalan untuk menyuarakan
nilai-nilai islam.
Selanjutnya
ormas-ormas yang “gatal” akan kekuasaan marilah kembali ke khittah
masing-masing sebagai pengontrol kinerja pemerintah, dan lebih fokus pada permasalahan
ummat, supaya kiyai/ tuan guru bisa dijadikan panutan bagi masyarakat, karena
kalaulah para kiyai/Tuan Guru rata-rata terjun kedalam dunia politik, akan
mengakibatkan kepercayaan masyarakat padanya mengalami degradasi, sehingga
tidak ada lagi yang dijadikan panutan.
Saya tidak
mempermasalahkan warga salah satu ormas ikut serta dalam politik praktis, namun
hendaknya secara personal tanpa harus ‘memprovokasi’ jamaahnya untuk memilih
partai tertentu atau tanpa melibatkan ormasnya, karena terlibat
dalam politik praktis akan membuat organisasi terkoyak-koyak pada kepentingan
partai. Saat ini saya melihat ormas-ormas islam sekelas Nasional (Muhammadiyah,
NU) sudah mulai kembali pada khittahnya yang sebenarnya yaitu mengedepankan
urusan ummat dan menjadi garda terdepan masyarakat untuk mengawal kinerja pemerintah.
Namun
bagaiamana dengan ormas islam terbesar di NTB yakni Nahdlatul Wathan? Nampaknya
sampai saat ini organisasi tersebut masih menggunakan powernya untuk menjadi
Nomor satu di NTB. Ormas masih dijadikan sebagai kendaraan politik untuk
memuluskan jalan menuju tampuk kekuasaan. Sehingga tidak heran organisasi ini
selalu menjadi “rebutan” para elit partai. Semoga NW ku tercinta ini kembali ke
khittahnya yang sebenarnya sebagai pengayom masyarakat, bergerak dibidang social,
pendidikan dan penanaman moral bagi anak-anak bangsa untuk kejayaan Indonesia. Marilah
berjalan sesuai dengan porsi masing-masing.
Mohon
Maaf, Allohua`lam Bissowab
Masjid Kampus Univ. Merdeka Malang, 23/02/2013
0 comments:
Terima kasih atas komentar anda