Terkikisnya Independensi Mahasiswa
Tumbuh pesatnya organisasi –
organisasi kemahasiswaan atau yang disingkat dengan ormawa, khususnya ekstra kampus, membawa ketertarikan tersendiri bagi
parpol tanah air, hal ini membuktikan bahwa Mahasiswa merupakan asset
yang sangat berharga bagi mereka (Parpol). Disamping karena posisi
Mahasiswa yang strategis yang berda pada tataran “Maddle class”
bisa menjangkau tingkat bawah (Rakyat) sampai tingkat yang paling
atas (Pemerintah), tak jarang pula Mahasiswa direpresentasikan sebagai
kepanjangangan suara rakyat. Kita tentu masih ingat aksi Mahasiswa
menurunkan Soeharto dari tampuk kursi kepresidenan pada tahun 1998,
Mahasiswa seluruh Indonesia memiliki satu suara untuk menghapus
kediktatoran di tanah air, walaupun menurut sebagian pengamat aksi
yang dilakukan Mahasiswa itu hanya bisa mengganti tampuk kepemimpinan
dengan pemimpin yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Aksi `98 membuktikan, bahwa Mahasiswa
pada masa itu masih bersih dari kontaminasi politik praktis,
Mahasiswa masih memegang teguh idealismenya sebagai pembela rakyat.
Perjuangannya semata-mata demi rakyat, bukan atas dasar apapun, maka
tidak heran rakyat begitu segan dan percaya pada Mahasiswa, simpati
masyarakat bisa dilihat dari dukungan dan ikut sertanya rakyat
menentang orde baru, kesemuanya itu tidak lepas dari peran aktif
Mahasiswa turun kebawah untuk menyuarakan kebenaran, sehingga rakyat
(Buruh, tani dan element masyarakat lainnya) sama-sama bergandengan
tangan menentang tirani. Sejenak kita menengok Aktivis Mahasiswa masa
kini; Pernahkah kita berpikir disaat Mahasiswa melakukan aksi, turun
ke jalan, dengan orasi yang menggebu gebu mengkritik kebijakan
pemerintah dengan “bertopeng” atas nama rakyat, padahal rakyat
santai-santai saja, bahkan tidak jarang masyarakat terganggu dan
merasa risih dengan aksi-aksi mahasiswa yang kebanyakan
ditempuh dengan jalur anarkis itu, suara yang didengung-dengungkan
itupun hanya terkesan sebagai seremonial belaka tanpa ada tindak
lanjut yang realistis. Ini disebabkan karena kurang aktifnya
Mahasiswa turun langsung ke Masyarakat untuk menyuarakan kebenaran,
disamping itu juga disebabkan karena berkurangnya kepercayaan
masyarakat kepada Mahasiswa. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian
aksi yang dilakukan Mahasiswa bermuatan politis, tidak jarang
aksi-aksi yang dilakukan karena “titipan” dari elit politik
tertentu. Inilah yang menyebabkan Mahasiswa miskin kepercayaan dari
masyarakat.
Diakui ataupun tidak, Aktivis masa kini
telah terlibat terlalu jauh dalam aksi-aksi politik untuk meraih
kekuasaan dan kepentingan duniawi semata, tidak hanya bersifat
individual namun sudah bersifat kolektif dan organisatoris. Artinya,
tidak sedikit aktivis yang tergabung dalam oraganisasi tertentu secara
terang-terangan mendukung politisi/kandidat tertentu dalam setiap
moment-moment politik, Mahasiswa saat ini cenderung terkooptasi oleh
kepentingan elit politik. Konsekuensinya, Mahasiswa akhirnya
terkotak-kotak, terpartisi, pada satu kepentingan politik tertentu.
Keadaan seperti inilah yang membuat kalangan Mahasiswa yang berada
diluar kepentingan politik tersebut enggan untuk ikut bergabung dalam
organisasi kemahasiswaan. Aktivis Mahasiswa yang seharusnya
menjunjung kepentingan rakyat dan mengusung nilai-nilai inteketual
telah sirna digantikan oleh kepentingan politik tertentu.
Sudah menjadi rahasia umum, beberapa
organisasi kemahasiswaan Khususnya yang Ekstra Kampus tidak lain
adalah underbow organisasi massa tertentu, walaupun mereka mengklaim
diri tetap independen, namun bisa dilihat dari kedekatan dan ideology
yang dibawa. Seperti, KAMMI yang cenderung ke PKS, PMII dengan
ideology NU nya, IMM dengan sub ideology Muhammadiyah, Himpunan
Mahasiswa Nahdlatul Wathan (HIMMAH NW) adalah sub ideology Nahdlatul
Wathan (NW), GMNI yang memiliki afiliasi yang kuat ke tokoh-tokoh
nasionalis ataupun partai politik nasionalis seperti PDI-P.
Klaim-klaim Independensi kadang-kadang tidak lebih hanya sebagai
jargon semata, sebab pada praktiknya komunikasi antara aktivis dengan
seniornya yang menjadi elit politik tertentu akan mempengaruhi
independensi aktivis tersebut, apalagi elit politik tersebut
memberikan bantuan jasa ataupun financial pada suatu kegiatan. Inilah
ujian bagi aktivis Mahasiswa, antara mempertahankan independensinya
ataukah mengorbankan organisasinya demi kepentingan elit tertentu.
Perlu diketahui tidak ada larangan dimanapun yang melarang Mahasiwa
untuk terjun kedalam politik praktis, Partai Politik adalah alat
untuk berjuang, akan tetapi yang menjadi persolan adalah tatkala
aktivis ikut terlibat didalmnya, maka hal ini dikhawatirkan akan
mengancam independensi Aktivis tersebut.
Kembali ke Khittah Seorang Aktivis
Memegang Teguh Idealisme; salah
satu yang menjadi corak khas seorang aktivis adalah Misi Sosial
Kerakyatan, ini ditunjukkan dengan konsistensi memperjuangkan
kepentingan rakyat, walaupun mungkin secara personal seorang aktivis
tersebut memiliki hubungan yang erat dengan seniornya yang sudah
menjadi elit politik, namun tidak menghalanginya untuk tetap bersikap
kritis. Terkadang Aktivis merasa sungkan mengkritik pemerintah
karena memang didalamnya terdapat seniornya, inilah tempat
profesionalitas Aktivis diuji, Aktivis sejati adalah yang mampu
memegang teguh idealismenya dalam kondisi apapun. Kalaulah Aktivis
tersebut memang masuk ke dalam politik tertentu, maka hendaknya ia
membuka baju kebesarannya sebagai Aktivis, untuk menghindari
organisasi tempatnya berada sebagai kuda tunggangan untuk memperoleh
posisi dalam konteks politik. Aktivis yang menanggalkan “baju”
Aktivisnya disaat ia masuk kedalam politik praktis, maka ini adalah
langkah terbaik, sehingga aktivis yang akan masuk kedalam politik
tertentu tidak akan mengotori dunia Aktivis yang Idealis.
Referensi :
Buku dan Diskusi :
Berbagai Diskusi On Line dan Off Line
Huda Miftahul, “Meraih Sukses Dengan
Menjadi Aktivis Kampus”, Yogyakarta: Leutika,2010
0 comments:
Terima kasih atas komentar anda