Ritual Rebo Buntung Antara Adat dan Syirik
Sumber Foto | www.nusatenggaraindonesia.com |
Berawal dari tayangan “Potret
Menembus Batas” yang mengekspose tentang salah satu tradisi masyarakat sasak
Lombok di SCTV pada hari Senin, 21 januari 2013 pukul. 1.30 WIB | menggerakkan saya untuk menulis salah satu tradisi sasak
Lombok yang unik ini, ternyata
ritual-ritual yang menggunakan sesajen bukan hanya di tanah jawa seperti yang
banyak diberitakan di media. Saya
semakin yakin akan kekuatan budaya lelehur dahulu sehingga sampai saat ini
budaya tersebut masih menjadi sebuah
tradisi yang wajib dilaksanakan sekali dalam setahun, yang menurut penuturan salah satu masyarakat di Lombok
timur, apabila ritual tersebut tidak dilaksanakan maka akan banyak terjadi
musibah, benar atau tidakanya tapi itulah kepercayaan masyarakat yang sudah
mendarah daging. Ritual yang saya maksud
itu adalah “Rebo Bontong” atau “Rebo Buntung”.
Rebo Bontong ini mengandung arti : “Rebo “dan “Bontong”
/”Buntung” yang berarti putus sehingga
bila diberi awalan pe menjadi pemutus. Upacara Rebo Bontong dimakusdkan untuk
menolak bala' (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap tahun sekali tepat pada
hari Rabu minggu terakhir pada bulan Safar (kalender Hijriah). Menurut kepercayaan masyarakat Sasak bahwa
pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak terjadi bala (bencana/penyakit),
sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk tidak memulai suatu pekerjaan pada
hari Rebo Bontong, rebo bontong ini juga dijadikan untuk perayaan menyambut
bulan Rabi`ul Awal, bulan kelahirannya nabi Muhammad SAW.
Upacara rebo bontong yang diliput oleh SCTV ini adalah upacara yang
dilaksanakan di pantai Tanjung menangis -Ketapang kecamatan Pringgabaya lombok timur , Lelanung sesaji juga turut
dipersembahkan sebagai rasa syukur berupa makanan, buah-buahan ,
satu kepala sapi serta hasil bumi menuju ke tengah
laut. Selain itu terdapat ritual khusus yakni setelah lelanung
sesaji dibawa ketengah laut, masyarakat melakukan
ritual pembersihan diri dengan mandi di
sekitar pantai.
Ritual tahunan ini tidak bisa dipisahkan dengan budaya
leluhur suku sasak dahulu yang masyarakatnya masih menganut agama dan budaya
hindu yang kental, sehingga tidak mengherankan budaya tersebut masih menjadi
ritual tradisi masyarakat sasak walaupun Lombok sudah didominasi kaum muslim,
sebuah akulturasi budaya Hindu-islam yang sudah melekat pada masyarakat selama ratusan
tahun.
Oleh Pemerintah ritual adat ini dijadikan sebagai sebagai salah satu ikon wisata Lombok, untuk mengundang para pengunjung wisatawan lokal dan manca negara, dan terbukti ritual ini dapat menggaet banyak turis dari manca negara.
Kemusyrikan
Rebo Buntung itu ada yang menyebutnya adat, ada pula yang
menilainya sebagai kepercayaan. Islam memandang, adat itu ada dua
macam, adat yang mubah (boleh)
dan adat yang haram. Sedang mengenai kepercayaan, itu
sudah langsung haram apabila bukan termasuk dalam Islam.
Adat yang boleh contohnya Sapuq (Ikat kepala) untuk orang Lombok-Bali. Itu tidak
dilarang dalam Islam.Tetapi Lambung/Kebaya, pakaian pendek wanita/ada juga
seperti jaring-jaring ikan (maaf kurang tahu namanya), itu haram, karena
tidak menutup aurat. Tetapi kalau dilengkapi dengan kerudung,
menutup seluruh tubuh dan juga menutup rambut kepala,
maka tidak haram lagi, jadi boleh.
Demikian pula Rebo Buntung dan yang sejenisnya, sekalipun ada yang
mengatakan bahwa itu merupakan adat, namun karena
menyangkut hal ghaib, berkaitan dengan nasib sial, bahaya
dan sebagainya; maka jelas merupakan keyakinan batil, karena Islam
tidak mengajarkan seperti itu.
Sedang keyakinan adanya
bala’ akibat kondisi dilahirkannya seseorang itupun sudah
merupakan pelanggaran dalam hal keyakinan, yang dalam Islam terhitung syirik,
menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedang orangnya disebut musyrik, pelaku
durhaka terbesar dosanya. Tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya
keyakinan itu, namun justru ada ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan
alamat-alamat seperti itu adalah termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik,
menyekutukan Allah SWT; dosa terbesar.
athoyyur atau Thiyaroh adalah
merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat
burung, binatang lainnya, atau apa saja.
Abu Dawud meriwayatkan hadits
marfu’ dari Ibnu Mas’ud ra:
”Thiyarah adalah
syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari antara kita
kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini),
hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (Hadits Riwayat
Abu Daud).
”Dan janganlah kamu memohon kepada
selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula
mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka
sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim
(musyrik).” (Yunus/ 10:106).
Yang Bisa Kita lakukan
Hal pertama yang
dilakukan adalah menyadarkan umat Islam bahwa bencana dan musibah ini
benar-benar azab dari Allah atas maraknya kemusyrikan dan kemaksiatan di
tengah-tengah kehidupan mereka.Itu yang harus dilakukan dahulu. Setelah
itu, umat harus melakukan tobat nasuha, tobat yang sebenar-benarnya
tobat. Masyarakat harus meninggalkan segera hal-hal yang berbau
musyrik. Sebab kemusyrikan itu merupakan puncak dari kedzaliman.
Para ulama harus berani bicara bahwa bencana
yang bertubi-tubi ini merupakan adzab dari Allah kepada manusia. Sayangnya
para ulama tidak ada yang berani bicara, padahal ayatnya sangat banyak dalam
Al-Qur’an.
Para ulama juga harus berani menegur umat dan
pemerintah. Sebab pemerintah secara khusus memberikan lampu hijau maraknya
kemaksiatan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Bahkan pemerintah lewat
Dinas Pariwisata dibantu dengan media massa membesar-besarkan upacara adat yang
jelas-jelas penuh dengan kemusyrikan.
Allohu a`lam bisshowab.
bukti para tuan guru terlalu sibuk di belakang mimbar masjid dan meja parlemen. kalau udah ada kepentingan politis baru turun ke bawah, blusukan
ReplyDeleteya bang itulah yg terjadi, TuanGuru2 yg qt cintai kebanyakn terbuai dengan retorika manis para politisi,shingga skrng ini sangat jarang qt mnemukan Tuan Guru yg tdk terkontaminasi politik. bermain di "api panas politik" mmbuat kewibawaan tuan guru dimata msyarakat mngalami degradasi. salam kenal juga bang blogger. :-)
DeleteTradisi yang sudah dikenal sejak lama dalam masyarakat memang sulit untuk dilupakan/ditinggalkan pendukungnya. Apa lagi sekarang pemda memberikan suport dengan menjadikannya sebagai ikon pariwisata.
ReplyDeleteIya sih pak, mau gimana lagi..:/ , bingung, yg bisa kita lakukan adalah menjaga diri dan keluarga aja dech dulu.
DeleteHari ini hari Rebo Bontog, tanggal 9 desember 2015. Alhamdulillah mulai hari ini kebiasaan Rebo Bontong dikembalikan ke asalnya yaitu datang kepantai mandi, makan bersama keluarga dan bertemu dengan sehabat kerabat. tidak ada lagi Ritual yang dinamakan ritual Rebo Bontong, karena memang asalnya tidak ada Ritual apalagi ritual penyembelihan. Ritual yang pernah dilangsir di Tv, itu sebenarnya mengada-ada alias pembohongan publik yang dimulai 4 tahun terakhir ini. Allahu Akbar! Pemuka agama, Adat, Pemuda dan Pemerintah telah mengadakan pertemua di Masjid Jami'ul Khair Pringgabaya dan telah bersepakat untuk mengembalikan Rebo Bontong kebentuk asalnya.
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau sudah berubah :)
Deletesalam...